Pengikut

Sabtu, 22 Desember 2012

@#Akhir Sebuah Do’a



Langit, iya aku tahu rasanya, sempat akupun merasainya, menyimpan sebuah harap, mencoba untuk tak merapalkannya tapi tahukah langit, tangis itu deras saat aku rasai ikhlas ada dalam setiap do'a-do'a itu, ikhlas yang akhirnya membuat buih-buih do'a itu tetap menjadi do'a untuknya. Ikhlas yang menjadi rindu untuk hati yang mulai sangat bergantung dan berharap hanya padaNya saat merapalkan do'a untuknya.

Dia yang berkata jadilah maka jadilah tentulah maha dari segala maha, tidak ada yang takmungkin baginya, segala isi hatipun itu darinya, isi hati yang menjadikan adanya harapan-harapan itu, saat lalu kau katakan langit bahwa Dia ialah pusat, cukup pada pusatnya itulah kita kembalikan apa yang kita rasakan kini. Ini fitrah yang pasti setiap manusia rasakan, akan tetapi memang harap itupun takbisa kita paksakan pada selainNya, tetap berharap itu memang hanya pada satu , padaNya. Ketika Dia menghendaki maka takada satu dari apapun atau bagaimanapun yang bisa menghalanginya terjadi dan begitu juga sebaliknya ketika Dia menghendaki tidak maka itulah yang terjadi. 

Tetaplah menjadi indah dalam do'amu langit, ketika kepasrahan dan keikhlasan diiringi sabar maka  biarlah Dia yang menuntun kita pada pintu kebahagiaan itu. 

Langit bila tentang do'aku, do'aku itu sangat meruhani sepertimu do'amu dulu mungkin,  padahal bila diucapkan permohonannya padaNya taksama sekali berubah, aku terus mengucapkan do’a-do’a yang sama, tapi sepertinya aku takpernah bosan memohonkannya kembali. Mungkin memang do’a itu menjadi sangat penting hingga susunan untuk siapa dan apa-apanya tepat pada urutannya setiap hari. Pada waktu matahari sepenggal naik ada harap entah yang sampai bisa aku tangisi selain do'a-do'a yang terkirim untuk mereka yang menyanyangiku dan kusayangi, ada do'a tentang segala yang terbaik untuk yang entah. Apa aku mengkhiananti selainnya, setiap kali ku sebutkan permohonan segala yang terbaik untuknya, apa aku membohongi diriku sendiri, hanya berharap semoga dan semoga untuknya, langit aku menangis dan selalu menangis, kau katakan bahwa selayaknya segala rasa hanya dialamatkan pada yang menciptakan isi hati itu, maka aku titipkan padaNya rasanya lebih indah. sudah berapa lama, aku taktahu, mulanya tak menghitung setiap detik dan jam, setiap kegelisahan itu di ganti oleh perasaan-perasaan berbaik sangka padaNya, airmataku menjadi teman yang ada saat aku mengadu padaNya. Aku nyaman. 
  
Rindu itu bicara sejauh mana mengingat. Lalu saat mempertanyakan posisi do’a itu pada dirinku sendiri kembali aku menangis, akhirnya ujung dari segala do'a ialah aku memohon ampun atas segala yang takseharusnya aku lakonkan, sedikit banyak yang dikehendakinya adalah hal yang mungkin telah dibersamai setan. Dan tentang do'a itu, aku tidak menghilangkannya Aku hanya merubah do’aku tanpa menghapusnya. Aku belajar untuk takmengkhianati do’anku sendiri. Tapi Allah Maha Tahu. 

Takdir kita masih tersimpan rapat di jalan tengah menuju tulisan ruby merah dan mutiara itu walau dalam dimensinya 360 sektor sudah sempurna dituliskan Sang Penggengam jiwa dengan pena cahaya dan aku percaya itu yang terbaik. Aku yakin langit ketika Dia mengirimkan seorang atau banyak orang dalam hidup kita, Dia sedang memberi kita pelajaran dengan cara-cara yang indah, Langit sungguh yang kutahu dan yang kurasakan saat Dia mengirimkan seseorang itu aku bersyukur dipertemukan dengannya olehNya walau hanya di sebuah dunia lipat, bersyukur karena ternyata ada penjaga pintu ikhlas yang dengan tersenyum membukakan perasaan damai sedikit demi sedikit. 

Takada yang salah ketika kita memohon yang terbaik menurut kita, sulit membedakan antara kita butuh dan kita ingin, sesuatu yang kita ingin semoga saja Allah iyahkan karena memang sesuatu itu adalah yang kita butuhkan, memohon itu taksalah kan langit ? hanya, mungkin saja permohonan kita yang keliru. Apa yang aku pikirkan, akupun masih bertanya tanya, dalam do'aku aku berkata padaNya bahwa aku takmenuntut keberadaannya di masa depanku karena yang aku mau ialah yang terbaik menurutNya, akan tetapi aku masih sematkan do'a kebaikan untuk hidup seseorang itu hanya untuk mengobati gelisah yang kadang mengetuk-ngetuk pintu kenangan, yang mencoba untuk mendobrak keyakinanku untuk sejenak diam dan takmelakukan apapun, layar yang biasa jadi penghubung cerita antara hidupnya dan hidupku pun mulai meredup, surut menjadi sepi, takada tawa yang biasa ada. Ketika setiap ingatan itu hadir, rasanya memohon ampun padanya dalam dzikir itu bisa lebih menjagaku , atau ku alihkan pada lembaran ayat suci. Akhirnya posisi do'aku bergeser aku mendo'akannya seperti aku mendo'akanmu, hanya sedikit lebih malu saat ku do'akannya kembali sampai aku takberani menyebut namanya, namun Dia tahu apa yang tersembunyi dalam hati.

Aku tetap berdo'a karena dayaku hanya itu langit, selebihnya aku ingin Dia memberikan jalan cerita yang tidak hanya dikehendaki tapi juga jalan cerita itupun Dia ridhai, akan seperti apa dan bagaimana aku sudah pasrah langit, bila seseorang itu datang padaku, maka aku ingin Dia  yang menggerakan, hingga seseorang itu yakin karenaNya untuk datang dalam hidupku, biar Dia yang memberi keyakinan itu padanya, bukankah keyakinan yang datang dariNya tidak akan menimbulkan keraguan. dan jikapun seseorang itu mengalamatkan yakinnya bukan padaku cukup aku bedo'a tanpa ia tahu bahwa aku berdo'a semoga ia bahagia, bukankah ketika kita mendo'akan tanpa sepengetahuan, maka para malaikat pun membalikan do'a itu untuk kita, dan biarkan aku di banjiri pengaminnan dari ribuan do'a malaikat untukku. 

Senin, 03 Desember 2012

@Tentang Sepotong Rindu


 Langit : 
 
Rindu embun itu mungkin sudah lama tersesat,
mengalamatkan gelisah hanya pada tetesan air yang jatuh dari tebing pipi ...
Apakah ia benar-benar tersenyum langit, Ia sedikit sakit.

Setiap waktu Ia katakan, tersenyumlah semuanya akan berakhir
 sakit ini hanya ilusi karena yang ditangisipun memang takada. 

Aku menangis hanya untuk sebuah rindu, iya  langit aku akui, setiap hari, setiap waktu,  setiap sepenggalan matahari naik.

Matahari sepenggal naik selalu jadi takbiasa, ada harap-harap ruhaniah yang sering sekali dipinta tanpa seorangpun atau siapapun tahu kecuali hanya Dia. Setiap kali meminta dalam tadahan tangan berbentuk permohonan yang bukan untukku sang airmata selalu turut menemani hingga membasahi mukenaku.
Aku menitipkan rindu itu pada yang semetinya pada Dia yang Maha mendengarkan, aku telah katakan padamu awalnya memang aku menghitung waktu namun sekarang akupun terlupa sudah berapa lama aku telah berusaha.

Saat aku masuk ke ruang ilusi itu ada sapa dan tanya antara aku dan dirinya, semua biasa saja, apa yang dipikirkan tentang dirikupun aku takpernah tahu, siapa aku dalam hidupnyapun aku taktahu, Tiada yang bisa dikatakan setelah ada sapa dan tanya, yang tadinya tak mau bicara akhirnya menarikan tanganya untuk kalimat jawab yang terus menyambung. hanya berkata tak menjelaskan apapun kecuali kabar. Bisu dengan gundah yang gulana menggiring meredam tangis kemarin saat senja. Rasanya terdua itu sakit ternyata dan lebih sakit lagi kala sadar tidak seharusnya ada. 

Temaram setiap malam menurunkan ego para penikmat gelap dengan tenangnya saat semua terpejam mengistirahatkan mata. Mereka yang berusaha dengan peluhnya, bukan tak penat tapi itulah cara mencapai tujuan. Sapa canda hingga tangis ada namun terjadi karena terlalu larut ditelan waktu. Mengukur sejauh mana memudarkan rasa yang tak terakui.

Ketidakjelasan itu jangan dijelaskan, aku tahu langit, bila sekarang pertanyaan itu kujawab ku takyakin akan ada keputusan dipilihan yang kita tahu, arah mana yang akan kita tempuh nanti. Maka entah siapa yang akan mengakhiri ini. Sudahi, aku tahu salah satunya nanti akan lelah dengan diam. Dan sampai waktu itu karena terlalu lekat dengan diam bahkan terabaikan walau fajar memberikan isyarat bila tak ada lidah dalam kisah ini, lalu dengan isyarat apa pertanyaan dan jawaban itu akan bisa terpahami oleh diriku dan dirinya. Kurasa takdirNya akan punya cara bicara yang lebih sempurna, terjaga dari segala marabahaya dosa dan akan terjaga dengan Do'a. 

Aku takmenuntut keberadaanya di masa depanku langit, sungguh. Siapa yang takinginkan seseorang yang baik itu ada dalam hidup tapi aku membiarkan Tuhan yang dengan indah menunjukan jalannya dan menyakinkan hatinya, aku hanya akan ada dengan sebatas yang seharusnya.

Langit apakah kau merasakan yang sama denganku ketika merasa rindu, rasa itu akan lebih terasa indah saat rindu itu hanya disampaikan pada Sang Maha Pemilik dibersamai dengan do'a-do'a penjagaan dan juga segala kebaikan untuknya,   kata siapa rindu itu takada untukmu, langit takhanya ada namanya dalam do'aku, namamu dan nama mereka yang aku sayangi dan menyanyangiku sudah ku khususkan, aku betah berlama-lama diwaktu itu, bahkan waktu berdo'aku lebih lama dibanding dengan waktu aku berukuk, dan bersujud tanpa memotong atau memperpendek rakaat dan surat-surat yang aku bacakan. Nikmatnya sampai terasa dengan tetesan air yang selalu jatuh dari mataku. Aku sadari, apa yang aku punya,? takada langit kecuali segala yang Dia berikan berupa nikmat-nikmat hidup yang takkan bisa aku menyebutkannya dalam surat-surat kita, kini sepenuhnya daya dan upayaku hanya ada dalam do'a  .

Do'a itu seperti buih-buih yang terbang
hingga akhirnya pecah dan itulah saatnya suara hati didendengarkanNya..
menitikan keharuan tanda kerinduan di sujud-sujud akhirku

Bisa saja do’aku keliru, tapi akupun tahu Dia yang Maha mendengarkan akan selalu mengganti inginku yang keliru itu dengan hal-hal terbaik dariNya. Aku takingin memaksakan do’a, rindu itu biarlah jadi harap-harap kebaikan yang terucap lisan padaNya, bukankah hanya Dia yang maha menjaga segalanya. 

ada yang berbisik halus
seperti angin yang mulai mengusap lembut meyakinkan dengan cara yang indah setiap kali ku merindu
"Sesungguhnya ada Dia yang sangat mencintaimu Embun" 

Langit kau tahu, disetiap selanya ada rindu bertemu denganNya, untuk berkata padaNya “ jadikanlah akar cinta padaMu menjadi cabang dari ranting-ranting keimanan yang membuatku hanya akan bicara dan menitipkan rindu padamu”

Bagiku, Rindu hanyalah jeda antara setelah pernah menyapa, 
tali yang mengikat kuat hati di dalamnya
menjadikannya tara dengan pertemuan dalam do’a, 
sulurnya merambat ke atas sampai ke mata, membuat jatuh menitik di tebing pipi. 
Taburnya sang penghias malam yang takterhitung
menjelma seperti buih-buih do'a embun yang mulai bicara tanpa suara.

Langit….
Aku memang mencintaiNya dengan ketidaksempurnaanku.