Langit, dirimu yang bisa berdiri hanya
dengan yakin padaNya lebih membuatku iri, bahkan saat tertatih kau masih
menuntunku, kau taktunjukan sakitmu , kau tetap berjalan walau perlahan, seakan
tatapanmu kedepan menuju satu pasti yang disana kau tahu akan merasai nikmat pasti
yang takterkira dalam menujuNya dan kau tetap memegang tanganku, mengajak
langkahku tetap mengikutimu. Kau menjadi perantaraNya yang membuatku menarik
langkah yang mulai jauh.
Langit senja hari ini, mengingatkanku
pada hujan senja kemarin, katamu surat untuk embun sudah kau kirim namun aku
belum sempat membukanya, sekiranya senja itu, aku langsung membukanya, mungkin
aku takkan melakukannya. Meluruskan niat itu hal tersulit dari sebuah
perbuatan, aku kira aku hanya butuh teman bercerita, kau tahu sendiri aku yang
kala sepi selalu mencari suara untuk hanya sekedar kudengar, akan tetapi rasa nyaman dan senang itu berbeda
saat aku bicara padanya.
Minggu pagi itu, selama lama mengenalnya pertama kalinya aku mendengar suaranya dengan jelas, aku mendengar tertawanya, dan setiap balasan darinya sama sekali takjauh berbeda dengan gayanya ketika dia bicara.Dia katakan “inilah aku”, rasanya aku yang jahat langit, kenapa aku memaksakan kata “aku biasa terhadapnya” bukankah diantara laki-laki dan perempuan yang tak senasab memang takaada persahabatan apalagi persaudaraan.
Embun : Aku ga gini kesemua orang,
ketika aku bercerita berbagai hal padamu sebetulnya kenapa aku bercerita, semua
yang aku ceritakan apa hubungannya
denganmu, apa coba ....
Langit, sekarang aku takut dengan diriku
sendiri, sungguh takut. Dengan mudahnya dulu aku katakan
padanya
Embun : Jika suatu saat nanti aku sudah
aneh aku akan bilang.
Majikan Kucing : Ok
Aku masih menganggap semua biasa, kenapa
hanya dia yang aku bicarakan karena memang hanya ada dia,aku takpunya balon
percakapan lain langit dengan lelaki selainnya dan bila baginya ini hal yang biasa tapi tidak denganku ini hal yang kurasakan untuk pertama kalinya. Dia yang kurasa bisa
menganggapku hanya seorang perempuan biasa, aku taksuka diperhatikan, aku
taksuka terlalu banyak ditanya, aku taksuka sikap yang terlalu berlebihan
padaku, dari semuanya yang ada hanya dia yang bisa biasa, hanya dia yang
takbertanya, tentang dia peduli atau tidak aku takpernah mengetahuinya, tapi
yang kutahu dia sangat baik. Terlalu jahat jika pada kelalaianku dia
tersalahkan. Apa ini juga salah satu pernyataanmu yang benar bahwa darinya aku takmenemukan
ketidaksempurnaannya. Karena akulah ketaksempurnaannya itu.
Bolehkah aku mengutip percakapan kami
yang pertama itu langit, aku katakan paadanya betapa aku takut membebani orang
lain termasuk dirinya , aku kesal akan apa yang aku rasakan, diriku yang selalu
mengangap hal kecil menjadi hal-hal rumit, tapi dia dengan begitu baiknya
mendengarkanku dia bahkan bercerita bagaimana seorang Umar Bin Khattab memperlihatkan
sikap khusnudzannya. Atau ketika ku katakan aku kekanak-kanakaan dengan sikapku
yang kurasa manja, dia hanya membalasnya dengan mengatakan “bukan kekanak-kanakan
tapi kekucing-kucingan, anak kecil itu polos tapi kalau kucing ngeliat orang
bawaannya suudhzon terus, kamu itu cuman cerita bukan ngerengek dan dia
membuatku ikut tertawa bersamanya. Aku rasa semuanya benar-benar biasa langit,
kadang perasaan ini ringan kadang pula juga berat, tergantung aku membawanya
kemana, akan tetapi kau benar langit Allah itu Allah bukan mesin kebaikan yang
bisa ku minta setiap saat. Dia bukan perantara antara aku dengannya. Dia adalah
Pusat.
Aku sebetulnya masih bingung, apa ini
benar-benar rasa itu karena aku hanya bercerita menurutku, aku takpernah tahu
bagaimana menurutnya. Asumsi yang berbeda membuat
segala prasangka selalu ada, hanya sepertinya aku harus menjedanya dan
melihatnya dari sisi yang biasa, sisi yang tidak memihak pada keinginan dan
keyakinan yang egois, sisi yang tidak memihak pada satu kesimpulan bahwa segala
perasaankuu berjawaban "iya" hidup ini bukan hanya dipandang dari satu
pasang mataku, hidup ini bukan dijalani oleh satu pasang kakiku, hidup ini bukan
hanya dirasakan oleh satu hati, aku sadari semua takbisa menjadi satu pemikiran dan
satu perasaan, untuk menyakinkan tetap diriku harus bertanya pada satu
pemikiran dan perasaan lainnya, satu pasang mata dan satu pasang kaki yang lain tentang
apakah ia memiliki pemikiran dan perasaan yang sama denganku, tapi lebih baik aku diam saja dan berharap apa yang kurasakan takterlalu dalam.
Langit, setelah kubaca surat darimu kau
tahu, dalam rakaat-rakaatku aku mulai kembali mengetuk pintu mahabahnya dengan
sungguh , aku yang taksempurna dengan ibadahku, bahkan setiap ayat yang berseru
yaa ayuhalladzina akhirnya membuatku menumpahkan kesesakkan di dadaku, aku
membiarkan mata ini basah, aku biarkan tetesan-tetesan itu terus mengalir, aku
merasakan kenikmatan kala aku berpikir betapa Allah sesungguhnya sangat
menyanyangiku dengan segala keterbatasanku ketika aku mengucapkan ayat-ayat itu
dari lisan, lalu dimudahkannya aku dalam menjaganya sesungguhnya Ia percaya, apakah sikap seorang penjaga seperti itu kurasa memang takseharusnya, tapi aku hanya perempuan biasa mungkin hilaf ini akan menjadi sesuatu yang akhirnya aku akan belajar banyak.
Terimakasih Langit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar